Bagi yang lama berkecimpung di dunia human capital tentu pernah bersinggungan dengan pengelolaan karir. Yang paling seru selain promosi tentu seputar klasifikasi talenta. Perdebatan di dalam talent committee yang sering mengemuka biasanya adalah tentang kriteria.
Orang-orang non-HC dan orang-orang personalia masa lalu (HC 1.0) tidak terlalu ambil pusing soal kriteria, promosi hanya soal waktu dan pengalaman kerja (senioritas), semakin lama bekerja seseorang dianggap ia akan mampu memimpin dengan tanggung jawab yang lebih besar, dan tinggal tunggu giliran naik jabatan, karena di masa itu persaingan usaha tak seketat sekarang.
Lalu datang jaman Human Resources (HC 2.0) di masa persaingan industri sejenis. HC 2.0 mulai memperkenalkan alat ukur, mengandalkan kriteria kinerja sebagai alat ukur utama yang memiliki bobot terbesar, karena menurut mereka produktivitas adalah bukti tak terbantahkan sumberdaya (resource) yang bernama manusia, dan kinerja merupakan jaminan kemampuan memimpin di masa depan, terlepas orang itu punya minat dan kemampuan memimpin atau tidak.
Belum lama berlalu adalah Human Capital (HC 3.0) yang membawa kompetensi sebagai alat ukur mengukur potensi, dimana skor hasil asesmen merupakan dimensi kedua setelah kinerja yang memetakan setiap pegawai ada di kuadran mana, serta menentukan nasib siapa yang berkinerja tinggi dan berpotensi tinggi akan cepat promosi.
Di era Revolusi Industri 4.0, senioritas dan pengalaman masa lalu tak akan mampu menjawab tantangan masa depan, kinerja hanyalah alat ukur jangka pendek yang bisa naik atau turun dari tahun ke tahun, dan kamus kompetensi yang populer saat ini sayangnya seperti mistar standar untuk menyamaratakan kemampuan manusia yang sebetulnya berbeda-beda dan tidak bisa dibatasi kebutuhan dan struktur organisasi saat ini saja.
Jawaban Revolusi Industri 4.0 adalah Human Being Empowerment (HC 4.0) yang berbicara mengenai Agility, Flexibility, Cross-Mobility, Collaboration, dan Idea Meritocracy yang sejalan dengan digitalisasi Industri 4.0 yang tidak lagi bicara Stability, Certainty, Competition, Silo Mentality, dan tidak sekedar melulu kreatif inovatif tetapi tak berdampak sistemik (alias rame di dalam tetapi masyarakat luas tak merasakan manfaatnya).
Bahasa HC 4.0 tidak lagi bicara kriteria unjuk kinerja dan skor potensi asesmen semata untuk pengelolaan karir, namun seberapa mampu organisasi mengidentifikasi mereka-mereka yang memiliki energi, aksi, dan konsistensi untuk menciptakan perubahan sistemik secara sinergi serta berdampak sosial di tengah turbulensi ketidakpastian.
Di masa depan, nilai perusahaan tidak lagi diukur dari productivity/profitability index saja, tetapi akan lebih banyak dilihat dari sustainability index dan peran perusahaan sebagai sebuah social enterprise, entitas yang tidak rakus sebagai economic animal, perusahaan yang mampu memberikan dampak positif sosial terbesar.
Kompatibel tidaknya perusahaan dengan Industri 4.0 ditentukan oleh perilaku perusahaan, perilaku perusahaan ditentukan oleh perilaku pimpinan, dan perilaku pimpinan akan menentukan perilaku karyawan. Pilihannya apakah pimpinan di era Industri 4.0 ini masih berperilaku kompetitif dibanding kolaboratif, ego-sentris dibanding eco-sentris, distrust-based dibanding trust-based, semuanya bermula dari keputusan pemegang saham dalam memilih nahkoda perusahaan.